Home

 
 
Jumat, 09 Oktober 2009

POTRET ANAK NUSANTARA

Sahabat.....

Kalau kemarin aku geram, galau dan gundah. Kalau rasa sendu, risau, biru kelabu meliliti qalbu adalah sebuah pertanda pedulianku akan sekitarku adalah sebuah ungkapan setelah lama terperam dan terpendam.

Rasulullah bersabda: ‘Iman itu ada kalanya naik turun', kadang menipis, setipis sutra dewangga, kadang kuat dan kokoh sekokoh bendungan Aswan, ‘Up and down' orang Inggris berungkap. 'Tapi iman itu...'katanya lagi..' ada disini', lalu beliau menunjukan jarinya kearah hati. ‘Setiap gerak dan detak hati menjadi perhitungan'.

Sahabat...biarkan aku hanyut dan larut dengan kegundahanku. Biarkan aku mengkritisi, menghujah atau mencemooh. Biarkan sesaat aku merengut, cemberut dan menggurutu.

Biarkan pula aku bersimbah air mata, hingga air mata itu mengering dan terevaporasi sendiri, seperti pada oretanku tentang potret bangsaku, kemarin.

Ber-Uzlah

Lalu aku berfikir... kenapa aku bersusah dan bergundah, kenapa aku harus risau dan galau memikirkan kemelut yang terjadi dinegeriku?

Bukankah lebih baik kalau aku duduk bersimpuh, merengkuh dan memelas kasih dan hiba kepada sang Khaliq, melulu ‘tuk diriku. Menghitung lafadz dzikir dengan ruas ruas jemariku atau menelusuri butir biji tasbih mengucap ratusan bahkan ribuan alhamdah, tahmid & takbir serta wirid dan doa.

Atau lewatkan menit dan jamku ber-Ruku dan berlutut ratusan rakaat. Lewatkan malam sunyi hening berMunajah hingga diujung malam. Atau habiskan musyaf mushaf menghattam, hingga semburat jingga fajar tiba, mengharap barakah... seperti halnya Ra'biah el Adawiah beribadah dan ber-uzlah.

Lalu kututup rapat genderang telingaku akan jerit rintih yatim & janda. Rintih bocah miskin papa di ibukota dan dikota besar lainnya yang tinggal ditepi selokan, dipinggiran rel kereta atau dikolong jembatan atau dibarak barak rumah tinggal sementara.

Anak anak di ibukota

Tak pelak untuk menghilangkan rasa perih laparnya, mereka, bocah bocah terpaksa berdiri disetiap lampu merah, menengadah, tubuh dan wajahnya kusam dan buram bermandikan terik mentari, debu serta desingan bisingnya mesin motor. Diantara ojeg, bajaj, kopaja, angkot , taksi, Volvo, Babybenz , BMW dan bahkan Rolls Royce. Disitulah mereka, disimpangan jalan antara Kuningan,Pancoran-Pasar Minggu, Petamburan-Palmerah, Tanah Abang, hingga tak ada rasa takut tertumbur. Sementara polantas tak lagi menghardik mereka, melulu terarah pada pelanggar sambil berpikir dua atau tiga pekan kedepan yang haris mereka lalui.

Anak anak Nusantara telah tertempa oleh kondisi yang keras dan beringas, terhimpit oleh kemiskinan, sementara orang tua terjerat oleh hutang atau hutang budi kepada tetangga dan kerabat, harapan masa depan mereka terampas. Hari ini adalah ‘kini'.

Atau bocah laki-laki berpeci taqwa nenteng kotak amal di lorong lorong pasar, menjegat setiap pembelanja, memelas welas asih dengan suara lirih. Lalu kutanya:' siapa yang pegang kunci kotak ini?' ''pak ustad atau kiyai di panti bu'. Atau mereka berkerumun ditumpukan belukar, mencari sisa makanan bersamaa kucing, anjing dan unggas...

Bukankah seharusnya mereka berada disekolah, dibangku, mengais ilmu. Atau bermain bola, main gundu atau berenang atau main sembunyi. Bukankah mereka berhak mendapatkan pendidikan dan pelajaran dan perlindungan ??? Bukankah undang undang menjamin mereka untuk dicerdaskan?

Oh tidak...masa kanak kanak mereka terenggut, terampas & terhempas. Bahkan banyak diantara mereka yang terusir, kehilangan segalanya. Adakah terfikir oleh anak bangsa dimasa duapuluh tahun mendatang? Generasi bebalkah yang sedang diciptakan?Generasi premankah yang sedang kita siapkan ?

Apa yang sudah kita perbuat

Tapi sahabat ...ku ta'kan hanyut dan larut dengan simbah air mata yang ‘kan bermuara pada keputus-asaan atau kesia-sia-an, nil. Desah dan keluh kesahku telah ter-uapkan, galau dan gundahpun terlepaskan.

Memang aku sempat merunduk sendu,... itu kemarin. Kini telah sirna dan sebersit sinar ceria telah menguakkan pekatnya awan, menyeruak dan menyembul dibalik kelamnya awan kegalauan.

Tak guna kalau kita hanya mahir menghujjah, mengeluh, mendamprat pada sebuah sistem yang telah diciptapaten selama tigapuluhdua tahun, hingga sistem itu telah tertanam dalam dan membumi dikomunitas umum hingga moto:‘Dosa ini kita tanggung rame rame, masuk neraka sama sama' bahkan dilegalkan, dan tidak pernah sendiri, saling terkait dan mengait hingga kini menjadi sebuah budaya dan opium.

Jangan merindukan dan mimpi akan terlahir dan hadir generasi handal dimasa lima belas atau duapuluh tahun mendatang?

Lalu Apa?

Lalu...aku bersama temanku berdiri ditepian dermaga sebuah pelabuhan. Nampak biduk besar kecil terhampar berjejer tengah bersauh, mengisi muatan. Dengan rasa malu penuh nekad kami menaiki tangga tangga biduk mengetuk pintu, kutemui kapten dan amier lalu kukatakan bahwa dinegeri kami tengah terjadi sebuah kemelut. Ku mengundang untuk berempati, ‘tuk sudi kiranya lewat dan melawat dan menyisihkan sebagian muatannya untuk saudara kami yang terdzalimi.

‘Afwan ukhti..negerimu terlalu jauh, berita kemelut dinegerimu tak kami dengar dimedia' aku terpaku sendu, kutelan air liurku. Pahit sekali. Kami ditepis. Masih belum putus harap, kuketuk lagi biduk raksasa lainnya. Sama. Oh bahkan mereka berseloroh...'hah bagaimana mungkin... negerimu kaya dan subur bak sepenggal syurga, mana mungkin mereka lapar dan terdampar, mana saudara seiman dinegerimu ?' Leherku terjerat, aku kehabisan oksigen.

Kuadukan rasa kecewaku pada sang al-Mulk, ‘ Ya Rabb tolonglah kami, mudahkan urusan kami. Bukankah janjiMu ‘Bahwa bila kami menolong orang maka engkau akan menolong kami, aku dan kami tak kuasa' Aku terseok seok berjalan mengetuk setiap pemilik hati yang punya peduli. Juga tetap kucoba mengetuk nurani saudaraku yang sama sama bershahadah, sama... ditepis: 'Itu bukan kewajiban kita, kerusakan itu teramat besar, mustahil, tidak mungkin!'

Kami tetap bersikeras.

Kesaksianku akan wajah wajah was-was melas penuh hiba yang telah terampas izzahnya, atau ibu ibu janda berwajah sembab dengan bulir-bulir air mata selalu menggenang ditiap sudut mata mereka, ada kepiluan nan perih yang tercuat.Yang kian membias pada benakku, hingga melahirkan sebuah tekad.

Tak ada pilihan maka biduk kecil telah kami buat bermodalkan kebesaran hati, beralaskan tauhid, kayu kayu kita susun direkat dengan ukhuwah fillah, palu determenasi kita dentamkan pada sahabat yang tak mengenal batas baik usia, warna, bangsa..., kami usung kemelut ini sebagai masalah umat dan bahkan biduk itu telah kami luncurkan dibahari yang luas dan lepas tak kenal tepi. Biduk ini... kini tengah menyauk dan mengais ikan besar dan kecil, pukatpun telah kami lemparkan, jejaring kian kami lebar luaskan sejauh kami mampu.

Lalu kami sebrangkan ke gugusan pulau Nusantara hingga anak anak kami bisa kembali memegang pensilnya, menenteng tas rakzak bergambar teli tobi atau Power Ranger. Mengembalikan haknya sebagai insan, mengembalikan izzahnya sebagai Muslim, hingga was-was dan trauma itu terkikis pada kisi kisi hati mereka, pelan kelakon tapi pasti.

Kendala dan karang tajam dan aral yang merintang tak terelakan, datang bertubi, namun kami lalui kendati kami kami hampir karam terhempas kandas. Kami menyadari ini.Kami tetap berantisipasi, besok lusa mungkin akan lebih dahsyat. Expect for the worse. Karena memang demikian jalan menuju ridho Allah tidak lepas dari rintang dan kalungan duri dan ranjau. Sedang kalungan mawar kami harapkan dihari pembalasan kelak. Bagaimana dengan anda? Sudahkan membuat biduk atau wagon?

"Demi masa....demi waktu yang tersiksa".

Buat pujanggaku disudut alam maya.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Silahkan isi buku tamu di sini....
Cute Pencil

Updates Via E-Mail

Cloud Labels

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani